Ada
banyak teori tentang kuasa dalam ilmu-ilmu sosial. Adeney-Risakotta
mengatakan bahwa teori kuasa yang mendominasi ilmu-ilmu sosial adalah
penafsiran atas kekuasaan sebagai dominasi dan kekerasan (domination and
violance). Kebanyakan teori-teori tersebut mendekati kekuasaan dari
kacamata politik praktis.
Mills
misalnya menulis bahwa semua usaha politik adalah “usaha untuk
mendapatkan kekuasaan, dan bentuk paling akhir dari kekuasaan adalah
kekerasan.” (Mills, 1956: 171). Salah satu ilmuwan sosial yang sangat
jelas memaknai kuasa (power) dalam makna dominatif adalah Max weber yang
mengatakan, “the state is a relation of men dominating men, a relation
supported by means of legitimate.” (Weber, 1946: 78). Demikian juga
dengan Karl Marx yang selalu memposisikan kekuasaan sebagai sesuatu yang
dimiliki oleh mereka yang memonopoli alat produksi dalam mode-mode
produksi yang sengaja dibuat oleh mereka. (Adeney-Risakotta, 2004: 467).
Dalam
pandangan Risakotta, ada beberapa catatan kritis yang bisa diberikan
terhadap teori-teori kekuasaan di atas. Kekuasaan yang diandaikan
sebagai sesuatu yang dicari –lewat politik dalam pandangan Mills- atau
sesuatu yang dimiliki –lewat dominasi dalam pandangan Weber-
berimplikasi pada sebuah cara pandang yang zero sum game (satu kelompok
menang dan lawan tidak akan mendapatkan apapun). Dengan menggunakan
pendekatan heuristic, Adeney-Risakotta mengatakan bahwa teori kekuasaan
yang dicari dan dimiliki tidaklah sepenuhnya tepat untuk menggambarkan
realitas yang terjadi. Bagi Adeney-Risakotta, kekuasaan ada di semua
orang. Baginya, kekuasaan bukanlah sesuatu yang dicari dalam perjuangan
politik, karenanya bukan sesuatu yang dimiliki oleh elit. Kekuasaan
adalah sebuah kemampuan untuk bertindak secara bersama untuk mencapai
tujuan bersama. Dengan demikian, ketiadaan kekuasaan berarti
ketidakmampuan untuk membuat perubahan dalam realitas sosial.
(Adeney-Risakotta, 2004: 484). Pandangan Adeney-Risakotta masih
mengandaikan bahwa kekuasaan masih bisa dijadikan sesuatu yang bisa
dimiliki. Hal ini tidak sejalan dengan Vilarreal (1994 : 172) yang
mengatakan bahwa kekuasaan (power) bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki
atau tidak, akan tetapi kekuasaan itu lahir sebagai konsekuensi dari
tindakan seseorang.
Bagaimanapun,
teori-teori kekuasaan dari Adeney-Risakotta maupun vilarreal bisa
dikatakan lebih tepat jika dibandingkan dengan teori kekuasaan sebagai
dominasi. Akan tetapi, ada di sana masih ada kesan bahwa kekuasaan yang
lahir dari tindakan terkesan dijalankan dengan strategi negasi.
Seseorang atau kelompok ketika melakukan tindakan, yang akan melahirkan
kekuasaan, selalu berhadapan dengan orang atau entitas lain. Dalam teori
kekuasaan Vilarreal, kekuasaan yang dilahirkan sangat bisa jadi berasal
dari suatu proses penegasian atau penolakan atas orang atau entitas
lain. Implikasinya, kekuasaan itu bisa jadi juga bersifat menegasikan.
Untuk menghilangkan kesan menegasikan, Foucault melontarkan sebuah
teori kekuasaan yang bersifat produktif. Lebih jauh kekuasaan itu
terletak di mana-mana (omnipresent), tidak bisa dimiliki dan selalu ada
dalam suatu matrik hubungan dengan kekuasaan yang lain. Bagaimana suatu
kekuasaan bisa bersifat produktif? Dalam teori kuasa ala Foucault
tersebut, strategi mengkombinasikan antara the visible (yang terlihat)
dengan the sayable (yang terkatakan) adalah kerja dari kekuasaan.
(Kendal and Wickham, 1999:49).
Dalam
kerja kekuasaan ini, hubungan-hubungan yang tercipta antar kekuasaan
bersanding dengan pengetahuan. Dalam operasi kuasa ini, 2 kutub tersebut
yang bisa menghasilkan pengetahuan karenanya disebut sebagai two poles
of knowledge, saling berelasi untuk menghasilkan subyek tertentu.
Mekanisme operasinya dijelaskan oleh Deleuze (1986: 66,73) bahwa :”the
sayable offers the visible in a ’space of dissemination’, while offering
itself up as a ’form of exteriority.’ Secara lebih jelas Deleuze
menyimpulkan teori kekuasaan ala Foucault sebagai berikut :
Power
is relation between forces, or rather every relation between forces is a
power relation… Force is never singular but essentially exists in
relation with other forces, such that any force is already, that is to
say power; force has no other subject or object than force…it is ‘an
action upon an action, on existing actions, or on those which may arise
in the present or in the future’; it is ‘a set of actions upon other
actions’. We can therefore conceive of a necessarily open list of
variables expressing a relatiuon between forces or power relation,
constituting actions upon actions: to incite, to induce, to seduce, to
make easy or difficult, to enlarge, to limit, to make more or less
probable, and so on. (Deleuze, 1986: 70).
Dari
kesimpulan Deleuze di atas, kekuasaan selalu berarti hubungan antar
kekuasaan. Kekuasaan tidaklah dimiliki, karena ia berada dalam hubungan
antar kekuatan. Kekuasaan itu dipraktekkan sehingga pertanyaan untuk
kekuasaan bukanlah ‘milik siapa?’ akan tetapi ‘bagaimana kekuasaan
bekerja?’. Dalam prektek kekuasaan, di sana akan selalu ditemukan
resistensi. Dengan kata lain, resistensi adalah suatu yang niscaya dalam
hubungan kekuasaan karena jalinan antar kekuatan itu sebenarnya
berjalan dalam logika saling mempengaruhi. (Kendal and Wickham,
1999:49). Hunt dan Wickham (1994: 83) menulis bahwa resistensi adalah
A
technical component of governance, a component heavily involved in the
fact that governance is always subject to politics. Resistance is the
part of the fact that power can only ever make a social machinary run
imperfectly or incompletely … In foucault’s words, resistance is the
‘counter-stroke’ to power, a metaphor with strong technical,
machine-like connotations. Power and resistance are together the
governance machine of society, but only in the sense that together they
contribute to the truism that ‘things never quite work’ not in the
conspiratorial sense that resistance serves to make power works
perfectly.
Resistensi
adalah aliterasi langsung dari bahasa inggris resistance yang sering
dipadankan dengan kata ‘perlawanan’. Sepintas memang cukup memadai
mengartikan resistance dengan kata perlawanan. Akan tetapi, ketika
ditilik dari psiko-linguistik, kata perlawanan dalam sense-bahasa
Indonesia memiliki konotasi yang memiliki kekuatan ‘eksternal’. Artinya,
kata ini selalu mengandaikan adanya 2 pihak yang saling berkonfrontasi
satu sama lain, di mana kedua pihak tersebut memiliki kekuasaan
masing-masing yang ’diadu’ untuk saling meruntuhkan. Ketika kekuasaan
satu pihak diadu dengan yang lain untuk saling meruntuhkan, di sinilah
perlawanan terjadi. Proses ini sering kita temui di dalam aksi-aksi
mahasiswa ketika mereka meneriakkan ‘lawan negara’. Kalimat ‘lawan
negara’ adalah sebauah proses mencoba meruntuhkan kekuasaan yang
dimiliki oleh negara, apapun latar belakang ‘aksi peruntuhan’ tersebut.
Di sini, kata perlawanan mengindikasikan 2 hal, (1) kekuasaan adalah
sesuatu yang dimiliki, dan (2) kerja perlawanan adalah kerja mengadu
kekuatan dari luar dengan pihak luar lainnya, seakan-akan memang antar
keduanya tidak ada sama sekali keterkaitan atau relasi.
Dalam pemikiran Foucault, resistance tidak dimaknai dalam proses
‘meruntuhkan atau mengadu’. Kata tersebut lebih dimaknai sebagai sebuah
proses yang justru inhern dalam sebuah relasi kuasa. Foucault dengan
jelas mengatakan bahwa
If
there was no resistance, there would be no power relation. Because it
would simply be a matter of obedience. You have to use power relation to
refer to the situation where you’re not doing what you want. So
resistance comes first, and resistance remains superior to the forces of
the process; power relation are obliged to change with the resistance.
So I think the resistance is the main word, the key word, in this
dynamic.( Lotringer (ed.), 1989)
sorce:
http://mrzacky.blogspot.com/2009/06/teori-kekuasaan-dan-perlawanan.html